Kritis dan Etis Wacana
Memaknai sebuah
wacana terlebih yang memiliki retorika semu terkadang terlihat memiliki daya
kritis yang tinggi namun cenderung miskin etis. Wacana yang dimaksud di sini
adalah segala bentuk satuan bahasa baik ujaran tertulis maupun verbal yang
ditujukan kepada publik dan memiliki power tersendiri untuk
memengaruhi kehidupan manusia. Wacana tersebut dapat dikatakan sebagai bahasa
publik. Bahasa publik secara langsung maupun tidak langsung pasti berpengaruh
pada dimensi kehidupan mondial, pengaruh positif maupun reduktif akan nilai
moral. Dalam hal ini, esensi makna pada bahasa tersebut seharusnya lebih
ditekankan. Namun, apakah wacana yang selama ini menghiasi beranda publik telah
memenuhi aspek kritis dan etis?
Bahasa publik seakan
terlihat hanya sebatas ulasan panjang yang lari kemana-mana dari makna yang
sebenarnya. Retorika yang dekat dengan makna muluk tersebut, terkadang mampu
menipu penyimak/pembaca dengan kemasan bahasa yang terlihat kritis, yang
seakan-akan mampu menekankan pada masalah mendasar dan secara komprehensif
mampu merepresentasikan akar pembahasan. Tentu semua kembali pada sudut pandang
masing-masing. Hanya saja, harus lebih ditekankan, interpretasi seharusnya
tetap pada batasan dan norma secara khusus.
(Hemat saya) kritis
dapat dianalisis dari dua pandangan, yaitu surface dan in-depth.
Kritis yang hanya sebatas surface menunjukkan bahwa bahasa
publik yang disampaikan cenderung menggunakan bahasa ilmiah dan susah
dimengerti, namun terkadang mampu mengantarkan pembaca untuk berasumsi bahwa penulis
telah menuangkan ide kritis. Artinya kekritisan bahasa hanya terletak pada
struktur bahasa yang ditulis, sementara makna yang dikandungnya sebenarnya
meleset dari tujuan yang hendak dicapai. Sehingga hanya menghasilkan zero
interpretation atau miss interpretation terhadap
esensi dari akar pembahasan. Sementara in-depth berarti makna
yang ingin dipahamkan ke pembaca/penyimak menjadi fokus utama yang ingin
dicapai. Penggunakan kata-kata yang sederhana terlebih dengan kata yang sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari namun dikemas dengan lugas, sehingga
menimbulkan makna yang kuat dan tertransformasikan pada pemahaman
pembaca/penyimak dengan baik.
Memang tidak
mustahil, ketika bahas publik disampaikan dengan gaya keduanya, yakni surface dan in-dept yang
terintegrasi, menggunakan pemilihan kata yang ilmiah dan menekankan pada makna
yang akan disampaikan. Namun, wacana ini hanya akan mampu dipahami oleh
orang-orang tertetu saja, khususnya orang yang secara akademis memiliki wawasan
lebih terhadap sebuah wacana. Gaya wacana yang terintegrasi tersebut perlu
dikembangkan dan digenerasikan untuk membudayakan bahasa publik yang
lebih prestigious, baik dari segi makna maupun tulisan,
terlebih bila memerhatikan etika dalam mengemasnya. Sehingga daya nilai sebuah
wacana akan semakin kuat.
Kritis cenderung
diartikan sebagai upaya untuk mempertajam penganalisisan terhadap sebuh isu
atau topik yang diangkat. Kritis mencoba menjabarkan secara cermat poin-poin
sekecil mungkin yang timbul dari sebuh isu/problem/topik bahasan. Sejatinya
berpikir secara kritis akan mampu memberikan dampak positif terhadap kemajuan
peradaban dunia. Namun, semakin orang bebas untuk berpikir kritis, akan semakin
terkikis pula norma etik dalam sebuah wacana. Nyatanya, banyak orang yang mencoba
mengeksplorasi daya kritis mereka namun mereka terlupa untuk tetap menjaga
etika dalam eksekusinya, sehingga dengan mudah keluar dari koridor norma. Tanpa
disadari mereka berbahasa tanpa moralitas dan keluar dari falsafah bahasa yang
sesungguhnya. Akibatnya esensi manusia untuk saling menghargai juga semakin
rapuh. Hal ini cukup mengkhawatirkan, karena akan berdampak lebih luas ke
dimensi kehidupan manusia yang lainnya.
Lebih menghawatirkan,
hal ini harus terjadi di tengan era digital. Alat bantu digital terhadap sebuah
wacana sangat berdampat kuat. Penggunaan media yang semakin tidak terbatas
sangat membuka peluang terhadap publik untuk menuangkan ide apapun itu. Bahkan
mereka dapat melakukannya dalam hitungan detik (dengan media online). Ujaran
menghina, propokatif, hoax, dsb menghiasi media yang tidak sedikit berujung
pada pertikaian panjang. Etika dalam hal ini sangat krisis untuk mampu
diaplikasikan. Alih-alih sembunyi dari identitas palsu di akun media sosialnya,
semakin membuat penggunanya bebas berujar semena-mena. Bukan masalah biasa, hal
ini kaya akan fitnah yang menghantarkan pada pertikaaian sekala besar, seperti
saling melaporkan, saling menjatuhkan, mempermainkan kekuasaan, bahkan
tidak menutup kemungkinan saling membunuh. Mungkin terlihat sedikit berlebihan,
nampun nyatanya kasus-kasus tersebut dapat ditemukan dengan mudah di era
sekarang. Miris.
Emansipasi etika
harus secara aplikatif dan sungguh-sungguh dilaksanakan dalam penggunaan
wacana, terlebih bahasa publik yang jelas akan lebih menyedot perhatian
khalayak umum. Terkadang masyarakat harus menyadari saksama bahwa hal ini
berawal dari transformasi era yang semakin menyempitkan ruang untuk
berkomunikasi secara langsung dan lebih memilih untuk berinteraksi melalui
dunia maya. Dunia maya akan selalu memberikan gambaran maya yang rawan akan
segala macam bentuk kesalahpahaman bahkan kejahatan. Era digital memang tidak
dapat dihindari dan semua pasti terlibat dalam proses digitalisasi. Hal ini
benar-benar nyata. Begitu seriusnya isu-isu yang terdapat dalam era digital,
hendaknya disertai pembekalan wawasan terkait literasi digital. Melalui
literasi digital dilakukan pembekalan nilai-nilai moral atau norma yag
terkandung dalam digital, yang mana mampu mewakili pembelajaran terhadap konsep
kritis dan etis sebuah wacana.
Digital memang salah
satu wadah menyampaikan wacana yang paling berdampak. Namun, wadah lain harus
tetap diperhatikan. Pada hakikatnya, wacana harus tetap menjunjung kritis dan
tidak melalaikan etis, melihat keuniversalan nilai moral dan kearifan sudah
menjadi kodrat manusia. Oleh karena itu daya lokutif bagi penulis atau
pembicara wacana mesti menjejak pada nilai kearifan, karena merefleksikan
prinsip dasar moral umat manusia.
Catatan:
Opini ditulis berdasarkan satu
sudut pandang saja (sudut pandang penulis), tanpa adanya pendukung dari rujukan
manapun. Unsur subjektivitas sangat menonjol, tentu akan melahirkan pro dan
kontra. Silakan tulis komentar apapun terkait dengan opini tersebut.
(Juni, 2018)
Komentar
Posting Komentar